Minggu, 03 Februari 2013

LAPORAN LIMNOLOGI (ALKALINITAS)


I.  PENDAHULUAN
1.1   Latar Belakang
            Perubahan pemanfaatan daerah pinggir sungai oleh penduduk akan berpengaruh terhadap kualitas air, yang sudah tentu akan berpengaruh terhadap kandungan kimia sungai.  Air yang masuk ke sungai banyak dipengaruhi oleh vegetasi sekitar daerah tangkapan air.  Air ini akan membawa partike ltanah dan mineral tanah dari darat ke sungai.  Akibatnya, bila terjadi perubahan di daerah tangkapan air maka faktor kimia air sungai akan terpengaruh.
            Usaha budidaya ikan sejak dahulu telah ada.  Dalam kegiatannya, manusia selalu meningkatkan produksi agar mendapatkan hasil yang terbaik.  Agar hasil budidaya ikan dapat tercapai secara maksimal, kita perlu memperhatikan kualitas air khusunya alkalinitas.
            Oleh karena itu, praktikum Limnologi tentang alkalinitas dilaksanakan agar dapat mengetahui kadar atau koondisi yang cocok untuk kegiatan budidaya ikan.
1.2  Tujuan dan Kegunaan
            Tujuan dari praktikum Limnologi tentang alkalinitas yaitu agar mahasiswa dapat mempelajari cara mentitrasi dan kadar alkalinitas yang baik untuk kegiatan budidaya.
            Kegunaan dari praktikum Limnologi tentang alkalinitas yaitu untuk mengetahui kadar yang baik untuk budidaya ikan.
II.  TINJAUAN PUSTAKA
            Menurut Afrianto dan Liviawati (1992), tidak ada air yang agak alkalis (basa) akan lebih capet mendorong terjadinya proses pembongkaran bahan-bahan organik menjadi garam-garam mineral seperti amoniak, nitrat, dan fosfat.
Alkalinitas adalah suatu kemampuan untuk menetralkan kadar keasaman disuatu perairan atau tambak budidaya yang umumnya sangat ditentukan oleh ion-ion karbonat dan bikarbonat (Rompas, 1998).
            Alaklinitas biasanya dinyatakan dalam satuan ppm (mg/l) kalsium karbonat (CaCO3).  Air dengan kandungan kalsium karbonat lebih dari 100 ppm disebut sebagai alkalin, sedangkan air dengan kandungan kurang dari 100 ppm disebut lunak atau tingkat alkalinitasnya sedang
            Ketersediaan ion basa karbonat dan bikarbonat merupakan parameter total lakalinitas dalam air tambak dan kolam sanagt penting, karena alkalinitas tidak hanya berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan plankton, tetapi juga mempengaruhi parameter kualitas air yang lain yaitu pH air yang akan mempengaruhi pertumbuhan dan produksi budidayan (Kordi, 2004).
            Untuk tumbuhan optimal, plankton menghendaki otal alkalinitas sekitar 80-120 ppm.  Pada kisaran total alkalinitas kurang atau lebih dari kisaran tersebut, pertumbuhan plankton terhambat.  Akan tetapi, bukan hanya total alkalinitas yang dapat menghambat pertumbuhan plankton tetapi parameter kualitas air yang lain, yaitu pH (http://id.wikipedia.org/wiki/kalsium_hidroksida).
            Persentase ion-ion utama yang terdapat dalam perairan tawar dan laut ditunjukkan dalam table berikut : (Kordi, 2004).
Ion-ion Utama
Persentase (%)

Air Tawar
Air Laut
Kation :
1. kalsium

60,9

3,2
2. Magnesium
19,0
10,1
3. Sodium/Natrium
16,6
83,7
4. Kalium
3,5
3,0
Anion :
1. Bikarbonat dan Karbonat

72,4

0,6
2. Sulfat
16,1
12,2
3. Klorida
11,5
87,2
            Fluktuasi harian pada perubahan pH pada nilai alkalinitas yang berbeda, mengakibatkan pH yang terjadi paada perairan yang memiliki nilai alkalinitas rendah cukup besar, sedangkan perubahan pH yang terjadi pada perairan yang memilki nilai alkalinitas sedang relative rendah.  Sehingga alakilinitas yang lebih tinggi memiliki sistem penyangga yang lebih baik (Suyanto, 1995).
III.  METODE PRAKTEK
3.1  Waktu dan Tempat
            Praktikum Limnologi tentang Alkalinitas dilaksanakan pada hari Kamis, tanggal 30 Oktober 2008 yang dimulai pada pukul 12.00 sampai dengan selesai.  Bertempat di Laboratorium Budidaya Perairan, Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Tadulako.
3.2  Alat dan Bahan
            Alat yang digunakan dalam praktikum Limnologi tentang Alkalinitas yaitu:
Ø  Labu Erlenmeyer 50-125 ml
Ø  Labu semprot
Ø  Gelas ukur
Ø  Pipet tetes
Ø  Buret
      Bahan yang digunakan dalam praktikum Limnologi tentang Alkalinitas yaitu :
Ø  Larutan H2SO4
Ø  Larutan indicator PP (Phenolphthalein)
Ø  Larutan indicator MO (Methyl Orange)
3.3  Prosedur Kerja
       3.3.1  Tidak Terdapat PP Alkalinitas
Ø  Pertama-tama kita masukkan air sample ke dalam gelas ukur sebanyak 50 ml.
Ø  Menambahkan larutan indikator PP sebanyak 5 tetes ke dalam air sample.
Ø  Apabila tidak terjadi perubahan warna pada air sample tersebut berarti tidak terdapat PP Alkalinitas.
Ø  Kemudian menambahkan 5 tetes larutan indikator Methyl Orange.
Ø  Setelah itu, titrasi dengan menggunakan larutan H2SO4 dari berwarna kuning samapi berubah menjadi warna orange.
Ø  Catat H2SO4 yang digunakan (M).
3.3.2        Terdapat PP Alkalinitas
Ø  Pertama-tama kita masukkan air sample ke dalam gelas ukur sebanyak 50 ml.
Ø  Menambahkan larutan indikator PP sebanyak 5 tetes ke dalam air sample.
Ø  Apabila terjadi perubahan warna pada air sample tersebut dari warna bening menjadi pink, maka sample tersebut terdapat PP Alkalinitas.
Ø  Kemudian titrasi dengan mengguanakan larutan H2SO4, samapi warna pink berubah menjadi warna bening.
Ø  Mencatat Larutan H2SO4 yang digunakan (P).
Ø  Menambahkan 5 tetes larutan indikator Methyl Orange.
Ø  Setelah itu titrasi kembali larutan tersebut dengan menggunakan larutan H2SO4 sampai larutan berwarna orange.
Ø  Mencatat larutan H2SO4 yang digunakan (B).
3.4  Analisis Data
       3.4.1  Tidak Terdapat PP Alkalinitas
                  PP Alkalinitas          =  (P)(N)(50)(1000) mg/L CaCO3
                                                                    v
                  Keterangan       :   P = Volume peniter (H2SO4 dalam ml)
                                               N = Normalitas peniter (H2SO4 0,02 N)
                                               v  =  Volume air sample (ml)
                                            50   =  Berat molekul CaCO3
                                         1000  =  Perubahan liter ke milliliter
       3.4.2  Terdapat PP Alkalinitas
                  Total Alkalinitas  =  (M atau P + B)(N)(50)(1000) mg/L CaCO3
                                                                          v
                   Keterangan :M,P,B = Volume peniter (H2SO4 dalam ml)                                                             N    =     Normalitas peniter (H2SO4 0,02 N)
                                                  V    =     Volume air sample (ml)
                                                  50   =     Berat molekul CaCO3
                                              1000   =     Perubahan liter ke milliliter
IV.  HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1  Hasil
            Berdasarkan praktek yang dilaksanakan di Laboratorium, di dapatkan hasil sebagai berikut :
4.2  Pembahasan
            Berdasarkan hasil praktek di atas, maka kita dapat mengetahui bahwa air sample yang diamati dapat dikatakan bersifat alkali karena adanya kandungan CaCO3 di dalam air sample yang lebih dari 100 mg/l.  sebagai mana kita ketahui Alkalinitas adalah kosentrasi total dari unsur basa-basa yang terkandung dalam air dan biasa dinyatakan dalam mg/l atau setara dengan kalsium karbonat (CaCO3).  Dalam air basa-basa yang terkandung biasanya dalam bentuk ion karbonat dan bikarbonat (Kordi, 2004).
            Menurut Effendi (2003), Bikarbonat, karbonat, dan hidroksida merupakan sumber utama penyusun alkalinitas suatu perairan.  Kation yang mendominasi perairan tawar adalah kalsium dan magnesium, sedangkan perairan laut adalah sodium dan magnesium.  Anion utama pada perairan tawar adalah bikarbinat dan karbonat, sedangkan perairan laut adalah klorida.
            Menurut Suyanto (1995), pada siang sampai sore hari nilai pH air cenderung meningkat dan total alkalinitas menurun.  Hal ini disebbakan karena pada siang sampai sore hari CO2 dalam air bersifat asam digunakan fitoplankton untuk proses fotosintesis.  Sebaliknya pada malam sampai pagi hari nilai pH air menurun dan total alkalinitas meningkat, dikarenakan fitoplankton tidak aktif melakukan fotosintesis sehingga CO2 yang dihasilkantidak terpakai .
            Alkalinitas bersifat buffer atau kapasitas penyangga terhadap perubahan pH air yang sangat draktis.  Sehingga organisme-organisme yang terdapat di dalam suatu perairan dapat mentolelir setiap perubahan yang terjadi (www.iptek.net.id).
            Untuk tumbuhan optimal, plankton menghendaki total alkalinitas sekitar 80-120 ppm.  Pada kisaran total alkalinitas kurang atau lebih dari kisaran tersebut, pertumbuhan plankton terhambat.  Akan tetapi, bukan hanya total alkalinitas yang dapat menghambat pertumbuhan plankton tetapi parameter kualitas air yang lain, yaitu pH (http://id.wikipedia.org/wiki/kalsium_hidroksida).
            Nilai alkalinitas berkisar antara 30-500 mg/l.  nilai alkalinitas di perairan berkisar antara 5 hingga ratusan mg/l.  nilai alkalinitas yang alami pada perairan adalah 400 mg/l.  perairan dengan nilai >40 mg/l disebut sadah, sedangkan perairan dengan nilai <40 mg/l disebut lunak (Effendi, 2003).
V.  KESIMPULAN DAN SARAN
5.1  Kesimpulan
            Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagi berikut :
1.      Alkalinitas adalah kosentrasi total dari unsur basa-basa yang terkandung dalam air dan biasa dinyatakan dalam mg/l atau setara dengan kalsium karbonat (CaCO3).
2.      Bikarbonat, karbonat, dan hidroksida merupakan sumber utama penyusun alkalinitas suatu perairan.
3.      Alkalinitas bersifat buffer atau kapasitas penyangga terhadap perubahan pH air yang sangat draktis.
4.      Syarat optimal alkalinitas  untuk budidaya yaitu, total alkalinitas sekitar 80-120 ppm.
5.2  Saran
            Saran saya sebagai praktikan yaitu agar dalam usaha budidaya kisaran alkalinitas yang baik yaitu tidak di bawah 100 ppm.
DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E., dan Liviawati, E., 1992.  Pengendalian Hama dan Penyakit Ikan.  Kanisius, Yogyakarta.
Effendi, H., 2003.  Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan.  Kanisius, Yogyakarta.
Kordi, 2004.  Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan.  Rineka Cipta dan Bina Adiaksara, Jakarta.
Suyanto, 1995.  Budidaya Udang Windu.  Swadaya, Jakarta.

Rabu, 10 Oktober 2012

PKL PEMBESARAN UDANG WINDU DESA TONGGOLOBIBI




I.  PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Perikanan di Indonesia merupakan salah satu sumber devisa Negara yang sangat potensial. Pengembangan budidaya air payau di Indonesia untuk waktu yang akan datang sangat penting bagi pembangunan di sektor perikanan, serta merupakan salah satu prioritas yang diharapkan menjadi sumber pertumbuhan di sektor perikanan.
Udang windu (Penaeus monodon) merupakan salah satu jenis udang perairan laut yang mempunyai nilai jual yang tinggi dan menduduki tempat penting disektor perikanan, baik sebagai komuditi eksport maupun sebagi sumber protein untuk konsumsi dalam negeri, sehingga udang windu sangat berpotensi untuk dikembangkan baik melalui pembenihan di hatchery maupun pembesarannya.
Secara umum, budidaya udang windu di Indonesia telah dilakukan sejak  lama dan berkembang pesat dari tahun ke tahun, berbagai upaya untuk meningkatkan produksi udang windu yang ada di Indonesia, salah satunya penerapan sistem budidaya secara intensif. Namun masyarakat pembudidaya yang ada di Indonesia khususnya di Sulawesi Tengah memiliki modal yang terbatas, sehingga penerapan sistem budaya dilakukan secara semi intensif.
1.2  Tujuan dan Kegunaan
Praktek Kerja Lapang (PKL) bertujuan untuk mengetahui teknik pembesaran udang windu (Penaeus monodon).
Kegunaan dari Praktek Kerja Lapang adalah menambah wawasan dan sebagai bahan informasi bagi mahasiswa dan masyarakat dalam kegiatan pembesaran udang windu dengan sistem budidaya semi intensif, serta sebagai bahan masukan untuk meningkatkan keterampilan bagi para pembudidaya udang windu khususnya pada kegiatan pembesaran.
II.  METODE PELAKSANAAN PRAKTEK KERJA LAPANG
2.1  Waktu dan Tempat
Praktek Kerja Lapang (PKL) dilaksanakan mulai tanggal 1 Oktober sampai 4 Desember   2011   dan   bertempat  di  Tambak   Percontohan dinas Kelautan dan Perikanan di  Desa  Tonggolobibi, Kecamatan Sojol, Kabupaten Donggala, Propinsi Sulawesih Tengah.
2.2  Metode Pelaksanaan Praktek
Metode pelaksanaan Praktek Kerja Lapangan (PKL) yaitu dengan mengumpulakn data sebagai berikut :
                                                                        Pengamatan langsung
Data primer                                         Wawancara
                                                                        Praktek langsung di lapangan
                                                                        informasi instansi terkait
Data sekunder                                                  
                                                            literatur


2.3 Kegiatan yang dilaksanakan
            Kegiatan yang dilaksanakan pada Praktek Kerja Lapang (PKL) di Tambak Percontohan dinas Kelautan dan perikanan di Desa Tonggolobibi adalah :
v  Persiapan tambak
Ø  Pemupukan
Ø  Pengapuran
Ø  Pembasmian hama
v  Pembesaran
Ø  Pemberian pakan
Ø  Pemupukan susulan
Ø  Penyamplingan
Ø  Pengontrolan kualitas air
III.  HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1  Keadaan Umum Lokasi Praktek Kerja Lapangan (PKL)
3.1.1 Tata Letak dan Lokasi
Tambak   Percontohan  Dinas Kelautan dan Perikanan terletak di  Desa  Tonggolobibi, Kecamatan Sojol, Kabupaten Donggala.  Lokasi bangunan terletak disebelah utara pantai yang jaraknya sekitar 20 meter dari garis pantai.  Keadaan perairan berupa struktur dasar perairan berpasir dan pantai yang berombak.  Secara umum kondisi perairan dilokasi tambak cukup baik seperti salinitas yang berkisar 29 – 32 ppm dan suhu perairan pada pagi dan malam hari berkisar 27o – 29o C sedangkan pada siang hari berkisar 30o – 32o C.
v  Tambak Percontohan dinas Kelautan dan perikanan di Desa Tonggolobibi dilengkapi dengan sarana dan prasarana anatara lain :
Sarana
*      Kolam Pembesaran
Prasarana
*      Perumahan Pegawai
*      Ruangan  Pembuatan Pakan
*      Ruangan  Penyimpanan Perlengkapan
*      Ruangan Mesin
3.2  Kegiatan yang Dilakasanakan
v  Mengenal Udang Windu (Penaeus monodon)
            Klasifikasi Udang Windu (Penaeus monodon) menurut Soetomo (2000), adalah sebagai berikut :
Filum       : Arthropoda
Klas              : Crustaceae
Sub klas        : Malacostraca
                                  Ordo              : Decapoda
                                            Sub ordo         : Natantia
                                                 Famili               : Penaeidea
                                                         Genus                : Penaeus
                                                                 Spesies       :  Penaeus monodon
Tubuh udang windu (Penaeus monodon) dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu kepala-dada (cephalothorax) yang tertutup oleh satu kelopak yang disebut karapas. Lebih rinci, karapas mempunyai tonjolan yang meruncing kedepan, yaitu rostrum (cucuk). Rostrum tampak bergerigi pada tepi-tepinya, di belakang cephalothorax ada bagian badan (abdomen) dan ekor. Pada kepala terdiri lima ruas dan delapan ruas di bagain dada. Masing-masing ruas mempunyai sepasang anggota badan, seluruh ruas-ruas tersebut tertutup oleh kulit keras tetapi tipis pada setiap sambungannya sehingga memungkinkan udang bergerak lebih  fleksibel (Suyanto dan Takarina, 2009).
Pada bagian perut (abdomen) terdapat 5 pasang kaki renang (pleopoda) yaitu pada ruas ke-1 sampai ke-5. Sedangkan pada ruas ke-6, kaki renang mengalami perubahan bentuk menjadi ekor kipas atau ekor (europoda).  Ujung ruas ke-6 ke arah belakang membentuk ujung ekor (teleson), di bawah pangkal ujung ekor terdapat lubang dubur (anus) (Suyanto dan Mujiman, 1989).

v  Persiapan Tambak.
Tambak yang digunakan berbentuk empat persegi panjang dengan luas 1 hektar. Sebelum digunakan tambak dikeringkan dengan cara mengeluarkan semua air melalui pintu pengeluaran (outlet) sampai keadaan tambak benar-benar kering, setelah itu tanah dasar tambak dijemur selama 7 hari  sampai keadaan tanah retak-retak, ini bertujuan  agar tambak bebas dari hama pengganggu dan pemangsa, selain itu pengeringan berfungsi untuk memperbaiki kondisi tanah dan mengeluarkan gas-gas metan amoniak dari dalam tanah.  Hal ini sesuai dengan pendapat Suyanto dan Takarina (2009), bahwa tanah dasar tambak dijemur sampai retak-retak atau selama kurang lebih 7 hari. Tujuannya, untuk menghilangkan senyawa beracun yang masih terdapat pada tanah dasar tambak.
Selama proses penjemuran dasar tambak, dilakukan pembasmian hama trisipan  menggunakan pestisida jenis Pegasus. Pegasus adalah jenis bahan kimia yang berupa cairan berwarna kuning keemasan. Penggunaanya dilakukan dengan cara penyemprotan  pada dasar tambak secara merata, penyemprotan dilakukan pada saat tambak keadaan tanah tambak lembab dan cauaca tidak hujan, dosis yang diberikan pada tambak dengan luas 1 ha yaitu 5 botol atau 400 ml. Suyanto dan Mujiman (1989), menyatakan untuk memberantas hama yang hidup di dalam air, kita dapat menggunakan bahan-bahan beracun atau peptisida.
Selain pembasmian hama trisipan juga dilakukan pembasmian hama werang tambak atau hama penyaing berupa udang renik yang tersisa pada caren yang masih tergenang air, cara memberantasnya yaitu dengan cara meracuninya dengan peptisida jenis Decis dengan dosis 80 ml. penggunaannya ialah, decis 80 ml dicampur dengan air sebanyak 20 liter, lalu diaduk merata, kemudian ditebarkan ketambak yang masih tergenag air. Wareng tambak adalah binatang bangsa udang renik yang hanya berukuran 8-10 mm. udang renik dapat menimbulkan gangguan di tambak. Udang renik ini memakan diatom dan alga bersel satu lainnya yang juga menjadi makanan udang windu (Suyanto dan Mujiman, 1989).
Selain trisipan dan udang renik, ikan pemangsa adalah hama yang sangat merugikan, karena dapat memangsa udang windu secara langsung. Untuk memberantas hama ini dapat dilakukan dengan pestisida organik diantaranya saponin. Cara penggunaanya yaitu terlebihdahulu saponin direndam dengan air lalu diaduk dan didiamkan selama 10 menit, kemudian saponin yang telah direndam disaring terlebih dahulu, dipisahkan ampas dan airnya, air saponin ditebar pada permukaan air. Sesuai pernyataan Suyanto dan Mujiman (1989), ikan-ikan liar dan buas dapat diberantas dengan bungkil biji teh yang mengandung zat racun yang disebut saponin. Saponin merupakan pepstisida organik atau pestisida alami.
Setelah pencucian tambak, air tambak dalam keadaan kering maka kegiatan selanjutnya adalah pemupukan. Pupuk yang dugunakan adalah Urea sebanyak 7 sak/ha dan TSP 3 sak/ha, ini bertujuan untuk menumbuhkan pakan alami.  Cara pemupukan dilakukan secara manual menggunakan tangan yang ditebar secara merata, setelah pupuk ditebar didiamkan selama satu hari. Menurut Amri (2003), dosis pupuk yang digunakan adalah urea dan TSP dengan perbandingan 3:1, yakni urea 2,5 g/m3 air tambak dan TSP 1 g/m3 air tambak. Dosis seperti itu memberikan pengaruh positif bagi pertumbuhan diatome.
            Tahap selanjutnya adalah pengapuran yang berguna untuk memperbaiki keasaman (pH) dasar tambak, dosis kapur yang diberikan adalah jenis kapur pertanian sebanyak 25 sak/ha, 1 sak kapur seberat 17 kg, pengapuran dasar tambak juga dilakukan secara manual dengan alat yang sederhana menggunakan ember dan ditebar langsung menggunakan tangan. Keesokan harinya dilakukan pemasukan air mulai dari ketinggian 10 cm, lalu 30 cm dan 60 cm dari pelataran. Sesuai pernyataan Amri (2003), setelah pemupukan, dilakukan pengisian air sedalam 10 cm selanjutnya ketinggian air dinaikkan menjadi 20 cm, air dimasukkan lagi hingga 60 cm.
v  Penebaran Benih
Benur udang windu didatangkan dari kota Makassar. Benur ditebar dengan umur 20 hari (PL 20) dengan kepadatan 10 ekor/m2 atau 100.000 ekor/ha. Sebelum benur ditebar dilakukan proses aklimatisasi agar benur udang tidak stres sehingga tingkat kematian atau mortalitas rendah, pada saat proses aklimatisasi wadah benur berupa kantung plastik yang diletakkan di air diberikan penutup berupa terpal agar tidak bersentuhan langsung dengan sinar matahari. Penebaran benur dilakukan pada sore hari agar suhu air tambak tidak terlalu tinggi. Sesuai pernyataan Soetarno (1992), penebaran benur dilakukan pada sore atau pagi hari karena pada keadaan tersebut suhu air  relatif rendah sehingga tidak menimbulkan gangguan tekanan pada udang dan untuk menghindari gangguan tekanan (stres), sebaiknya sebelum ditebarkan, benur udang diaklimatisasikan dengan air tambak.
v  Pengaturan dan Pemberian Pakan
Pengaturan jumlah pakan yang diberikan pada benur disesuaikan dengan berat tubuh udang dari berat saat pertama tebar dan dihitung kembali kenaikan berat badannya pada minggu ke tiga. Cara perhitungan pemberian pakan yaitu dilakukan sampling terhadap 50 ekor udang windu.  Penimbangan berat badan udang dilakukan dengan cara menangkap udang menggunakan bagan kecil kemudian udang diletakkan di dalam wadah yang berisi air yang telah ditimbang sebelumnya, lalu ditimbang setelah mendapatkan jumlah berat keseluruhan, kemudian dikurangi berat air, maka hasil yang didapatkan adalah berat sampel udang keseluruhan dan dirata-ratakan. 
Penimbangan dilakukan tiap minggu karena udang windu memiliki laju pertumbuhan yang cepat. sampling dilakukan tiap 7-10 hari sekali, (http://teknis-budidaya.blogspot.com/2007/10/budidaya-udang.html), disamping itu kegiatan sampling dilakukan dalam rangka mengontrol peningkatan berat tubuh udang dan menduga jumlah udang yang hidup, ini sesuai dengan pernyataan Amri (2003), sampling atau pengambilan contoh selain untuk menduga jumlah udang yang terdapat ditambak, sampling juga digunakan untuk melihat laju pertumbuhan dan status kesehatan udang. Dosis pemberian pakan dan pertambahan berat badan udang windu tertera pada  Tabel 1.



Tabel 1.    Dosis Pemberian Pakan yang disesuikan dengan Berat benur udang windu.
Umur
(Minggu/Hari)
Jumlah
(Ekor)
Berat Rata-rata (gram/ekor)
Berat Populasi (biomassa) = kg
Persentase Pakan
Ransum/hari (kg)
Jumlah Pakan (kg)/minggu
Jenis Pakan
I/II/1-14
100,000
0.02
2
20%
0.4
2.8

Starter I
III/15-21
96,000
0.1
9.6
15%
1.44
10.08
IV/22-28
92000
1
46
12%
5.52
38.64
V/29-35
88000
2
176
10%
17.6
123.2

Starter II
VI/36-42
84000
4
336
8%
26.88
188.16
VII/43-49
82000
8
656
6%
39.36
275.52
VIII/50-56
80000
11
880
5%
44
308
Grower II

Pekerjaan rutin yang dilakukan adalah pengontrolan, pergantian air dan pemupukan susulan. Pengontrolan dilakukan pada saat air surut dengan cara mengelilingi tambak melihat apa ada air yang merembes keluar, apabila air merembes berarti ada kebocoran dan dilakukan penempelan.
Pergantian air dilakukan pada saat air pasang tertinggi yang terjadi 15 hari satu kali siklus air pasang. Air tambak dikeluarkan melalui outlet atau pintu pengeluaran pada saat pagi hari, lalu pemasukan air dilakukan padasaat sore hari. Pemupukan susulan dilakukan pada saat setelah pemasukan air, pupuk yang digunakan adalah pupuk organik 1 liter yang berwarna coklat sebanyak 5 liter/ha. Pupuk dicampur dengan air lalu ditebar di permukaan air tambak.
IV.  KESIMPULAN DAN SARAN
4.1  Kesimpulan
            Berdasarkan hasil Praktek Kerja Lapang yang dilakukan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.      Tehnik pembesaran yang dilakukan di tambak percontohan dinas Kelautan dan Perikanan adalah secara semi intensif.
2.      Pakan yang diberikan berupa pakan alami yang melalui pemupukan dan pakan buatan berupa pelet.
3.      Pengontrolan kualitas air selain menggunakan kincir sebagai penyuplai oksigen terlarut, juga dilakukan pergantian air secara rutin pada saat air pasang tertinggi.
4.      Udang yang windu mudah lebih cepat pertumbuhanya dibandingkan udang yang tua, pertumbuhan udang windu dari awal penebaran seberat 0,02g hingga 15 hari mencapai 0,1g berarti selisihnya 0,08g, jadi pertumbuhan berat badan/harinya adalah 0,005g atau 25% pertumbuhan dari berat badan semula. Sedangkan pada umur 43 berat/ekor 8g hingga mencapai umur 50 hari beratnya 11g berarti selisih pertumbuhannya 3g jadi pertumbuhan berat badan/harinya adalah 0,375g atau 4,7% pertumbuhan dari berat badan semula.
4.2  Saran
Udang windu yang dibudidayakan sebaiknya dalam pemilihan benur benar-benar diperhatikan kualitasnya, karena apabila benur kurang berkualitas akan menyebabkan mortalitas yang tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
Amri, K., 2003. Budidaya Udang Windu Secara Intensif. Agromedia Pustaka, Jakarta
Soetarno., 1992. Budidaya Udang. Aneka Ilmu, Semarang
Soetomo, M.,2000. Teknik Budidaya Udang Windu. Sinar Baru, Bandung
Suyanto, R dan A. Mujiman., 1989. Budidaya Udang Windu. Penebar Swadaya, Jakarta
Suyanto, R dan E.P Takarina., 2009. Budidaya Udang Windu. Penebar Swadaya, Jakarta